Sepersekian senja yang hendak menjemput letihku dari tempat kerja. Peluh keringat serupa manik-manik air mata yang melekat di tiap inci tubuhku. Sungguh bukanlah inginku menjadi buruh cuci mobil yang selalu bercengkrama dengan air dan busa, setiap hari bahkan setiap jam. Lelah! Mungkin itulah kata yang pas untuk seseorang yang hanya lulusan Madrasah Aliyah sepertiku yang tak mampu meneruskan pendidikan, menamatkannya saja dari belas kasihan kepala sekolah. Sungguh bukanlah mauku dilahirkan dalam keluarga miskin. Inilah takdir yang ku sandang. Ah, biarlah setidaknya aku bangga lahir dalam keluarga yang menomorsatukan agama serta selalu menanamkan budaya bersyukur atas segala realitas yang ada.
Air yang tiap hari mengalir sesukanya mencari sudut-sudut terendah di sekitarku seakan juga membawa cita-citaku ikut terbenam bersamanya, mengalir entah kemana? Ke muara keputus asaan, ke jurang pengharapan. Entah!
Ah, cita-cita itu seringkali membuka file-file usang yang tanpa sengaja terekam dalam otakku. Suatu malam saat di mana anak-anak kampung pulang menuju rumah sehabis mengaji dari Mushola ujung desa, melewati setapak makadam yang penuh batu terjal, temaram hanya sesekali cahaya kekunang menghiasi remang. Aku berjalan mundur di depan teman-temanku. Ku ubah letak kopyahku hingga hampir menutupi alis sambil kedua mataku mendelik seakan ada kaca mata besar yang bertengger di hidungku. Lalu aku mulai berkata-kata seirama dengan gerak tanganku. “ Anak-anak! hidup ini seperti jalan makadam yang seiring kita lewati, penuh batu terjal, jika kita tak berhati-hati maka kita akan tersandung oleh terjalnya batu kehidupan itu sendiri. Arah rintangan senantiasa akan menghadang. Tinggal mampukah kita untuk menghadapi! ehemb ehemb !” aku meniru deheman khas Pak Karno , guru agama kami saat di Madrasah. “Anak-anak! kalian jangan takut akan gelap sebab sehabis gelap akan terbit terang, Gusti Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hambanya. Enggeh opo enggeh!” . seraya semua temanku menjawab “enggeh pak guru!’.
“sekarang tinggal bagaimana cara kita menyikapi setiap cobaan yang menimpa kita”. Saat ku dapati rumahku hampir sampai. “ Anak-anak! mungkin sekian saja pelajaran kita hari ini, semoga bisa bermanfaat. Jangan lupa belajar di rumah, Wassalamualaikum Wr Wb”. Serempak mereka menjawab “Waalaikumsalam Wr Wb” lalu mereka semua berlalu. Kami pun menuju rumah masing-masing. Suaraku hampir habis setelah berkoar koar disepanjang jalan tadi. Lekas saja ku raih kendi yang mengalirkan air ke tenggorokanku, menyempatkan rasa puasku bermain guru-guru_an. Aku sering merasa geli namun juga ada sejumput rasa bangga saat mengingat memori itu. Waktu itu mungkin hanya aku yang punya cita-cita untuk menjadi seorang guru dari sekian banyak teman-temanku. Mereka lebih banyak yang bercita-cita untuk menjadi anggota parlement dalam pemerintahan, seperti mentri, gubernur, bupati bahkan ada juga yang ingin menjadi presiden, namanya Saddam Husain, dia pernah berkata padaku “Tenang saja pak guru, nanti jika aku menjadi pressiden di negeri ini, akan aku angkat harkat dan martabat semua guru di Indonesia, termasuk sampeyan ha ha ha”. Inilah dunia kecil kami yang penuh dengan mimpi. Terserah orang berkata apa. Terima kasih Gusti Allah, karna engkau telah memberi kami keberanian untuk mempunyai mimpi walau entah engkau bawa kemana langkah kami kelak.
Kenyataan yang aku hadapi sekarang tak seindah mimpi yang ku rajut dengan benang-benang asa yang kupunya dulu. Takdir seakan lantang berkata “ buang saja cita-citamu itu Nak, ke sudut terjauh antariksa. Kau tak akan mampu mewujudkannya, takdirmu hanya sebatas buruh, tak lebih!”. Mimpi yang ku pugar di sepanjang untaian tasbihku bagai merapuh luluh hanya karna intuisi-intuisi dari lidah takdir yang menjilat gumparan logika. Mozaik-mozaik terserak....pecah,,!
Namun aku dan kerapuhanku mencoba sekuat tenaga untuk mengais serpihan asa yang tercecer di jalan setapak memori itu, kata-kata yang terucap dari bibir lugu yang tak pernah tahu masa depannya nanti entah seperti apa, kalimat serupa mantra yang ku sadur dari Sang Guru seakan mampu memberi energi magis atas absurditas mimpi yang kunamakan “Bagai Melukis Mimpi Di Bawah Senja Yng Muram”, energi itu mampu mencipta kalimat-kalimat penegasan atas sekian pertanyaanku “mungkin belumlah saatnya. Mungkin juga masih butuh perjuangan yang lebih keras lagi untuk mewujudkannya. Gusti Allah ora demen lho pada orang yang putus asa. Yakinlah atas apa yang kau panjatkan dalam do’amu. Cita-citamu sungguh mulia nak ! berdamailah dengan kenyataan lalu rayulah ia agar mempermudah jalanmu”. Resah raguku meloncatdari kata perkata, kalimat perkalimat menuju kepuncak keyakinan atas setiap kemungkinan yang kelak menghampiriku. Semoga akan indah saat waktunya. Toh setidaknya saat ini aku bisa menjadi guru bagi diriku sendiri, melangkahkan kaki pada jalan yang diridhoi Gusti Allah, belajar bersyukur juga ikhlas noto ati serta sabar berjuang demi pendidikan untuk masa depan yang lebih baik dal lebih baik lagi.
Biar saja letih senjaku ku gadaikan pada malam
Biar esok mentari senantiasa terbit
Menyinari pagi yang selalu ku tunggu cita-cita, cinta dan bahagia
Dear God
Please come lord, near at my side
Come down and whisper near my heart
I want to scream in your embrace
When the sad twilight
Comes down
In my dream
Pendaran cahaya dhuha memecah sisa-sisa embun di ujung pagi. Tempat kerjaku masih lengang, hanya sesekali kendaraan berlalu dengan orang-orang yang seperti dikejar waktu. Entah ini pagi yang keberapa, sejak pertemuan itu dengan seseorang yang dulu pernah menumbuhkan rasa hingga mekar di taman hatiku. Rasa yang kini masih tersimpan rapi di selipan kitab kalbuku. Rindu kian menjerat mengekang rasa. Ada bahagia menetes dari mata hati yang telah lama terpejam menikmati sepi sendiri. Rindu pada sebuah nama, Sabina Pramodya Ananta. Nama itu selalu bisa buat hatiku menajam pada satu titik yaitu setia.
Entah ini hari apa?tanggal berapa?serta bulan apa?hanya yang ku tahu hari ini ada sepucuk surat yang dialamatkan padaku, entah dari siapa? Dan saat aku membukanya aku begitu terkejut ketika mendapati nama itu. Serat-serat dadaku bersemburat tak menentu. Berdetak dalam ritme-ritme ganjil. Mungkin surat inilah jawaban dari abjad-abjad rindu yang ku tulis di tepian sajadahku.
Teruntuk : NawasyiqHarjuna Aly
Nama yang telah mengajariku
Nilai hidup, ikhlas dan cinta
Ku hatur salam terindah dari kalbu paling rahasia. Aksara rindu yang ingin mengeja cinta dengan rasa yang masih ada.
Maaf jika kedatangan surat ini telah mengganggu kessibukan Mas. Tapi untuk kebaikan kita nantinya., aku harap Mas berkenan membaca kata perkata yang ku tulis dengan linangan air mata.
Setitik bahagia yang ku rasa saat pertemuan tanpa sengaja kita di bengkel tempat kerja Mas telah memberi kesempurnaan dalam hidupku yang hampir.... mungkin kata hampir lah yang pantas ku simpulkan untuk hidupku. Setelah pertemuan itu manik-manik cinta kembali menetes dari mata rabunku yang hampir buta karena tiap peristiwa yang menjejalkan epilog-epilog sepi dan monolog luka, mengejah wantahkan resah dan gelisah. Semua itu karna kamu Mas dan Mas pula yang kini telah mampu menghapusnya. Ada rindu yang menyelinap masuk dalam bilik-bilik hatiku setelah sekian lama kosong tanpa isi, tak ada lagu yang dulu sering ku dengar lewat petikkan gitarm. Kini semua seakan kembali mengisi kekosongan hatiku, itu kamu Mas!
Ku rangkai kata per kata ini dengan linangan air mata bahagia sebab Tuhan masih berkenan memberi kesempatan padaku untuk bertemu dengan Mas di sisa-sisa nafas pencarianku, pencarian atas sebuah nama yang dulu pernah mengindahkan hari-hariku, merenda kisah-kisah tak bernama di taman bunga, di kantin sekolah, juga di lapangan sepak bola. Mungkin saat itu semua orang menganggapnya cinta monyet, tapi sungguh itulah cinta sebenarnya cinta yang ku rasa, kaulah cinta yang pertama dan terakhirku Mas.
Mas lah yang selama itu mampu memberikan cinta yang apa adanya, tanpa syarat dan tanpa alasan, memberi motivasi agar aku tak menyerah pada penyakit yang selama ini aku derita, Mas bisa buatku tersenyum pada takdir yang menyebutku “Gadis Lemah Tak Berguna” kamulah motivator juga sang pencerah bagi hidupku, itu kamu Mas!.
Hampir dua tahun lamanya setelah kenisbianmu, aku berteman dengan sepi, menikmati waktu sendiri hanya sesekali bayangmu mampir dalam kisah yang ku baca pada lembar mushaf kerinduanku lalu kembali nisbi, gelisah pun meneteskan kembali manik-manik cinta yang luka. Saat malam, selalu ku tunggu bintang tak bersayap yang dulu pernah Mas jajikan akan datang padaku, menghaturkan untaian salam darimu serta menceritakan kisahmu yang belum ku baca. Tapi apa! Hanya riuh lagu duka yang ku dengar, tak ada bintang itu, tak ada.....namun Sabina masih sedikit percaya bahwa bintang itu ada, mungkin ia tersesat di antara nebula. Ah biarlah!.. Mas, sungguh aku bangga padamu. Saat pertemuan itu, saat kau ceritakan padaku tentang kisahmu, perjuanganmu untuk ibu dan adikmu, dan kini kau masih terus bekerja tanpa lelah demi menyisihkan uang untuk mendaftar ke perguruan tinggi walau ada sedikit kata pesimis yang terucap dari bibirmu “entah butuh waktu berapa lama dik, untuk mengumpulkan uang itu”, tapi masih ada secercah cahaya keyakinan yang bisa ku lihat dari sorot mata Mas. Mas yang ku kenal bukanlah pribadi yang mudah putus asa atas setiap kemustahilan. Aku telah beruntung mengenalmu Mas.
Mungkin Mas tidak percaya jika saat Mas membaca tulisanku ini bahwa aku sudah berada di suatu dimensi yang akan memisahkan kita untuk selama-lamanya. Aku hanya berharap semoga kelak kita dipertemukan di surga. Aku punya satu permintaan pada Mas. Mungkin Mas akan terkejut saat mengetahuinya, tapi aku sangat berharap sekali Mas mau menerimanya. Beberapa waktu yang lalu aku sudah mendaftar ke sebuah perguruan tinggi di Lamongan, walaupun aku tahu umurku sudah tidak lama lagi. Itulah salah satu energi dari motivasi yang telah Mas berikan padaku bahwa hidup harus selalu optimis. Semua administrasi sudah diselesaikan oleh ayahku, aku telah berpesan pada ayah di saat yang ku anggap hari-hari terakhirku, di mana tubuhku hanya terbaring tak berdaya tapi aku masih punya sisa kekuatan di antara jemari rapuhku untuk mengetik huruf pada keyboard sehingga semua diamku bisa Mas baca. Aku berharap Mas mau melanjutkan pendaftaran itu, ayah akan mengatur semuanya. Melihat semangat Mas untuk meneruskan pendidikan seakan mampu memberi semangat padaku untuk bertahan dalam kesakitan ini walau mungkin hanya untuk beberapa hari. Mas telah beriku banyak hal yang melukiskan pelangi di sepanjang kisahku, terima kasih Mas. Cita-cita Mas sungguh mulia, aku sangat berharap Mas berkenan menerima permintaan terakhirku ini, semoga bisa menjadi jalan untuk mewujudkan cita-cita Mas. Memberi manfaat pada banyak orang, seperti kata Mas dulu.
“Khoirunnaas anfa’uhum linnaas” sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberi
Bunga di batas senja
Yang selalu berharap siraman do’a darimu
Pramodya Sabina Lysistrata
Bendungan perasaanku tak mampu lagi menghalau deras air mata. Serat-serat dinding hati tak kuat lagi menghela angin luka di jiwa. Gerakku beku dalam dimensi dan waktu. Absurditas cinta melemahkan sendi-sendi yang biasanya tegak berdiri. Latah sukmaku mengeja namanya dengan air mata ; Pramodya Sabina Lysistrata, cinta yang nyata, walaupun seribu nama datang menyepa hati. Ke ucap terima kasih dari dasar jiwa yang berair mata atas jawaban Tuhan yang dititipkan lewat cintamu. Jawaban atas do’aku selam ini. Tuhanku! Berikanlah dia tempat terindah di sisiMu. Amiiiiin!
0 komentar:
Posting Komentar